Jurnalis Menolak Rumah Subsidi, Menteri Maruarar: Bukan Gratifikasi

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, menyatakan bahwa program perumahan bersubsidi untuk para wartawan bukanlah bentuk gratifikasi. Menurut Maruarar, jurnalis yang menerima fasilitas ini sebenarnya masih melakukan pembayaran melalui angsuran kepada bank penyedia, sehingga mereka tidak memperoleh hunian dengan cara cuma-cuma.

Berikut ini informasi yang perlu Anda ketahui: Tiga organisasi pers telah menyatakan penolakan mereka atas program hunian bersubsidi untuk kalangan jurnalistik. Ketiganya meliputi Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, serta Pewarta Foto Indonesia. Kesepakatan mendasar dari semua pihak adalah bahwa skema tersebut dapat mengaburkan batasan antara pekerja kasar dengan profesionals dalam bidang jurnalisme, seolah-olah profesi itu layak mendapat perlakuan istimewa.

"Saya yakin jurnalis yang menerima rumah subsidi terus akan mengemukakan fakta," ujar Maruarar di tempat kerjanya, Rabu (16/4).

Selain itu, Maruarar meyakini bahwa pekerja jurnalistik layak mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam program perumahan bersubsidi sebab tak seluruhnya lembaga media memiliki kemampuan menyiapkan tempat tinggal bagi pegawai mereka. Sebagaimana telah diberitahu, Maruarar bertujuan memberikan 1.000 unit hunian sampai dengan tanggal 1 Juli 2025.

  • Dunia Keuangan Terpukul: Wall Street Jatuh, Industri Teknologi Diambang Krisis Akibat Peringatan dari Nvidia Tentang Tarif yang Ditetapkan Trump
  • Menindaklanjuti Petunjuk Prabowo, Departemen Perumahan Rakyat Akan Memperluas Jangkauan Penyediaan Hunian Bersubsidikan
  • Saham FREN Tidak Lagi Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Sejak Hari Ini, Penyebabnya Dan Implikasinya Untuk Para Pemodal Apakah Akan Berdampak?

Nany Afrida, Ketua Umum AJI, menyebut bahwa wartawan yang memperoleh hunian bersubsidi bisa berpotensi kehilangan sikap kritikal di mata publik. Karena alasan ini, Nany menekankan pentingnya pemerintah untuk mencabut program semacam itu.

Nany menyebut bahwa kesulitan memperoleh hunian bukan hanya dirasakan oleh jurnalis, tetapi juga oleh semua kalangan pekerja di tanah air. Oleh karena itu, Nany menganjurkan kepada insan pers supaya bisa memiliki tempat tinggal melalui jalur reguler yang tidak terdapat bantuan subsisi pemerintah.

Lebih baik mengakhiri program ini, agar teman-teman bisa mendapatkannya melalui cara biasa, misalnya dengan menabung di Tapera atau memperoleh kredit rumah dari bank," ujar Nany dalam pernyataan resmi yang dirilis pada hari Rabu (16/4).

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, seolah tak terlalu khawatir dengan penolakan yang datang dari tiga organisasi pers itu. Dia berencana akan mengalihkan sisa kuota perumahan bersubsidi bagi para wartawan kepada kalangan profesional lain apabila belum tersebar semua hingga tanggal 1 Juli 2025.

Penyaluran Berbasis Profesi

Heru menjelaskan bahwa pemerintah sudah menyiapkan sebanyak 164.000 unit hunian bersubsidi untuk 13 golongan pekerja. Artinya, upaya ini mendekati angka 75% dari total 220.000 unit rumah bersubsidi yang direncanakan melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan pada tahun ini.

"Semua 13 jenis pekerjaan yang kita tuju akan dipindah kewarganegaraannya pada tanggal 1 Juli 2025. Jika alokasi untuk satu jenis pekerjaan tertentu tak terpenuhi, maka kita alihkan ke jenis pekerjaan lainnya," jelas Heru.

Heru menyatakan bahwa program pemberian rumah FLPP sesuai dengan jenis pekerjaan ditujukan agar ada permintaan akan rumah-rumah FLPP di bank-bank penyalur. Di samping itu, aturan ini membantu mengurangi distribusi hunian bersubsidi kepada orang-orang yang telah memiliki kemampuan finansial cukup baik.

Perlu diingat bahwa FLPP adalah bentuk subsidi dari pemerintah yang mengatur suku bunga KPR menjadi tetap selama 5%, dengan periode pinjaman hingga maksimum 20 tahun. Pendapatannya harus mencapai Rp 7 juta tiap bulan untuk lajang dan Rp 8 juta setiap bulan bagi mereka yang telah memiliki keluarga, agar memenuhi syarat menerima manfaat dari program FLPP tersebut.

BP Tapera mengatur ketentuan hunian berdasarkan dukungan dari FLPP, yaitu ukuran bangunan paling besar adalah 36 meter persegi, area tanah mencapai 100 meter persegi, serta batasan harga untuk pembelian tanah dan gedung di wilayah Jabodetabek tidak melebihi angka Rp 185 juta.

Heru menyebutkan bahwa pendistribusian rumah FLPP berdasarkan pekerjaan bisa lebih mudah diperiksa menggunakan dukungan dari Badan Pusat Statistik. Secara singkat, Heru menekankan bahwa cara ini membantu memastikan bahwa subsidi yang disediakan oleh pemerintah sampai kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkannya.

"Dengan mekanisme distribusi sebelumnya, terdapat praktik kanibalisme rumah FLPP oleh kelompok yang lebih beruntung, pemanfaatan tidak sah dari data KTP, serta tindak curang dan suap dalam proses pengurusan izin untuk hunian bersubsidi di Bali. Oleh karena itu, langkah ini bertujuan melindungi pasar properti," jelasnya.

Tidak ada komentar untuk "Jurnalis Menolak Rumah Subsidi, Menteri Maruarar: Bukan Gratifikasi"